Bersatu Untuk
Pembebasan Nasional
Tanah Papua
menjadi primadona rebutan kaum pemodal karena kekayaan alamnya, namun manusia
dan alamnya dicabik-cabik tanpa ampun. Penderitaan akibat praktek Imperialisme,
kolonialisme, dan neo kolonioalisme atau neo liberalisme adalah potret dari
kondisi obyektif yang sedang dialami rakyat Papua selama setengah abad ini.
Kesejahteraan hanya janji, keadilan hanya mimpi belaka. Sebaliknya, rakyat
masih berjalan dalam lorong gelap fatamorgana, dibanjiri peluh-darah, teror dan
rasa takut, hilangnya kepastian hak hidup, hingga ancaman pemusnahan.
Penyerbuan terhadap massa Kongres Rakyat Papua (KRP) III dan pergulatan buruh
PT. Freeport Indonesia di Timika adalah cuplikan dari sejarah tanah ini, yang
sekaligus menggambarkan wajah kapitalistik-militeristik rezim SBY-Boediono.
Perhelatan KRP
III, sebagai wujud aktifitas demokrasi rakyat, dihadapi dengan kekuatan ribuan
pasukan TNI-Polri lengkap dengan peralatan mematikan. Lapangan St. Zakeus
Tauboria, Jl. Yakonde, Jl. Sosiri dan pebukitan Abepura menjadi saksi bisu dari
penyerbuan alat kekerasan Negara yang sangat arogan dan tidak manusiawi dalam
memperlakukan rakyat sipil yang berkumpul secara damai untuk merumuskan
pikiran-pikiran politiknya.
Dalam peristiwa
itu, tiga orang dibunuh dengan timah panas aparat, mereka adalah Daniel Kedepa,
Max Asayeu dan Yakob Samon Sabra. Sekitar tiga ratusan orang ditangkap, ratusan
orang menderita luka akibat penganiayaan berat dan ringan, diantaranya ada yang
menderita luka tembak. Dua hari kemudian pubik ketahui bahwa Mr. Forkorus
Yaboisembut dan Mr. Edyson Waromi serta empat orang lainnya telah ditetapkan
sebagai tersangka makar.
Di
Timika-Tembagapura, episode perjuangan manusia yang ingin diperlakukan adil,
bebas dari penghisapan segelintir manusia juga kita saksikan. Kaum buruh yang
berkeringat siang-malam meningkatkan kuota produksi perusahaan, ternyata
memperoleh upah yang diskriminatif. Karena itu,
para buruh melawan dengan menggelar mogok sejak 15 September lalu untuk
mendapat upah dan kesejahteraan sesuai standar Freeport di Negara lain.
Dipayungi oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT. Freepoort Indonesia (SPSI
PT. FI), para buruh telah menempuh berbagai langkah meski PT. FI mencoba tutup
mata-telinga, mencoba merekayasa situasi dan melancarkan tindakan tidak
manusiawi. Penembakan secara terang-terangan dan secara misterius kembali
terjadi terhadap buruh dan masyarakat yang bersolider dan memakan korban jiwa.
Pemutusan hubungan kerja sepihak, teror dan intimidasi terhahdap para buruh
semakin juga dilakukan. Bahkan tahap negosiasi yang kini berjalanpun terancam
gagal karena aparat keamanan sepertinya tidak sabar untuk intervensi proses ini
dengan ancaman membubar paksa blockade pemogakan buruh.
Kasus perburuhan
di PT. FI ini melengkapi citra Freeport di Papua sebagai kerajaan bisnis yang
jahat dan tidak adil. Kontrak karyanya illegal sebab tidak pernah melibatkan
representative rakyat Papua dan demi kepentingannya dunia telah mengingkari hak
menentukan nasib sendiri rakyat-bangsa Papua. Yang diterima mayoritas rakyat
Papua di sekitar konsensinya bukanlah kesejahteraan tapi kesenjangan sosial, penduduk
asli terlihat semakin tersingkir (marginalisasi), tanah adat mereka dirampas
(penyerobotan) dan aktifitas pertambangan ini sungguh mendatangkan kerusakan
lingkungan yang parah. Area pertambangan raksasa inipun cocok dijuluki “tambang
darah” sebab tak pernah bebas dari konflik yang berujung pada pertumpahan
darah. Sebut saja praktek kekerasan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil
setempat yang tidak pernah surut atau ‘seting’ konflik horisontal. Dengan kata
lain dapat dikatakan bahwa kehadiran Freeport di tanah Amungsal itu cenderung
mendatangkan rugi dibanding untung, orang Papua hanya menjadi tumbal dari
keserakahan perusahaan raksasa milik kaum kapitalis ini.
Berangkat dari
refleksi atas kondisi itu maka, Gerakan Rakyat Papua Bersatu mengajak setiap insan Papua untuk rapatkan
barisan dan bergabung dalam aksi mimbar bebas di Malioboro pada pukul 20.00,
tanggal 18 November 2011. Aksi ini sebagai upaya untuk terus mendorong
terbukanya ruang demokrasi di Tanah Papua seluas mungkin. Dan sehubungan dengan
itu, GRPB menyatakan:
1.
Mengutuk segala
tindakan pelanggaran HAM, tolak apapun bentuk militerisasi ditanah Papua, desak
pengadilan HAM atas insiden pengejaran terhadap warga sipil pasca konggres III
Rakyat Papua
2.
Mendesak intervesi
internasional untuk masalah kemanusian di Papua
3.
Hentikan kerjasama
Amerika Serikat dengan Indonesia dalam bidang militer
4.
Tarik militer organik
dan non-organik dari tanah Papua
5.
Hentikan bisnis militer
dan bisnis keamanan di Papua, hentikan campur tangan polri dalam soal
perburuhan di PT Freeport Indonesia dan usut tuntas tindak kekerasan terhadap
hak protes buruh PT Freeport Indonesia
6.
Manajemen PT Freeport
Indonesai penuhi hak-hak buruh, jika tidak maka PT Freeport Indonesia harus di
tutup
7.
Bebaskan para tahanan politik
Papua tanpa syarat
8.
Tolak kapitalisasi
kekayaan alam papua dan pastikan rakyat papua harus berdaulat atas kekayaan
alamnya, termasuk tambang yang dikuasai PT Freeport Indonesia
9.
Rakyat papua menolak
hasil-hasil KTT Asean yang mengarah ke ekxploitasi sumber daya alam milik
rakyat Papua
10. Mendesak
dunia internasional dan pemerintah Indonesai membuka ruang bagi pemenuhan hak
menentukan nasib sendiri bagi rakyat/bangsa
papua.